Monggo dibaca ! ^_^
Mentari kembali menerangi bumi pertiwi, lebih cerah
dari biasanya. Hujan semalaman telah berhasil dikalahkan oleh sang surya, dan
kembali memberi kehangatan bumi pertiwi.
Lalu lalang kendaraan dijalan semakin ramai, sehingga kemacetan selalu
menjadi rutinitas setiap pagi. Kotak kecil beroda empat diantara puluhan kendaraan lain yang menembus macet dengan suara frekuensi
radio favorit pemilik jari-jari lentik yang kini diatas setir. Hingga tempat
tujuanlah tombol off radio baru ditekan.
Jas putih kini sudah melekat ditubuhku, benda yang
khas untukku tak lupa selalu melengkapi krah jasku, dan dua lensa yang menjadi
pelengkap bola mataku sudah terpasang rapi. Dengan ditemani oleh perawat
asistenku, tugas pagi siap dimulai, kunjungan dari bangsal ke bangsal, dari pasien ke pasien
untuk melihat perkembangan kesehatan. Hingga ku temukan pasien yang tak asing
bagiku, wajahnya masih tersimpan disudut memory. Ku buka data social dalam RM,
untuk memastikan nama pasien tersebut,
apakah sama dengan nama yang tersimpan di memoryku.
”Dimas Ryan Anggara”. Bisikku lirih kepada asistenku.
“Iya dok, pasien yang baru masuk tadi
malam.”Jawabnya dengan penuh sopan.
“Mau saya bangunkan dok ?”Tanya Asistenku
“Ndak usah, infusnya masih stabil, biarkan istirahat
dulu saja!” Jawabku sembari menenangkan gonjangan hati yang datang tiba-tiba.
“Sama persis dengan nama yang masih tersimpan dalam
hati dan pikiranku.” Batinku sambil melangkah menuju runganku.
Untuk memastikannya lagi, kubuka laptopku dan ku pandangi
ulang wajahnya yang tersimpan dalam folder My Love, tak ada perubahan sama sekali. Dan ku temukan foto, dimana itu yang menjadi
motivasiku untuk mencapai titik ini. Titik dimana aku bisa membahagiakan
orang-orang disekelilingku, orang tua salah satunya. Ketika aku dan pasien itu satu kelas di kelas perjuangan untuk meloncat
lebih cerah dari abu-abu putih. Dan menjadi satu kelompok
tutorial praktikum biologi untuk adik-adik angkatan.
***
“Dim..ntar siang masuk tutorial kan?” Tanya teman
sebangkuku sekaligus sahabatku. Gina.
“Iya masuk, sory kemarin ada les di luar.” Jawabnya
sambil melangkahkan kakinya menuju singgasanaku.
“Oke deh, sudah ditunggu adik kelas kemaren.” Kataku
untuk menghilangkan gerogi.
“Iya deh, kemarin juga sudah ijin ke Instruktur
praktikum juga kok”. Jawabnya tepat di hadapanku.
“Rencana
lanjut cari ilmu yang lebih
tinggi dimana ni Dim?” Tanya Gina
nyrobot.
“Kedokteran Gin, doanya ya!” Jawabnya singkat.
“Amin.” Kataku dan Gina serempak.
“Dimas, Gina, Tyas, senyuum.” Teriakan Dayu yang
dijuluki dengan miss jepret, karena dimana ada dia, pasti ada jepretan foto.
“Bagus ga Day? Sini Tyas liat.” Pintaku.
Sempurna.Antara aku, sahabatku, dan my love. Inilah
kesaksiannya yang selalu menjadi motivasiku menggapai puncak cita-citaku. Dimana
dia melontarkan pernyataannya. Menjadi dokter. Sehingga prinsip itu muncul, bahwa
jika aku berprofesi yang sama, maka tak
ada kata gengsi untuk mengungkapkan isi hati yang lama tersimpan. Rasaku telah
mengubah cita-cita kecilku, dari perawat menjadi dokter.
“Bagaimana Yas? Ungkapin ntar sewaktu tutorial
praktikum, berani ? Jangan hanya lewat radio aja, itu pun bukan ungkapan rasa.”Tantang
Gina kepadaku.
“Belum berani Gin, rasaku akan ku ungkapkan ketika
aku telah berjas putih. Dan ku akan selalu kirimkan rinduku lewat gelombang
radio. Walau dia hanya menganggap sekedar pesan biasa. Dan pesan balik darinya
sudah lebih dari cukup untukku.” Batinku, sembari tersenyum untuk menjawab
pertanyaan Gina.
***
“Selamat pagi,
Salam semangat untuk Dimas dan Gina, jangan lupa
nanti tutorial praktikum ya.”
Pesan seperti itulah yang selalu ku luncurkan setiap
pagi dari hpku menuju frekuensi radio favoritku. Dengan harapan untuk
dibacakan penyiar radio, dan sampai di telinganya.
Walau kadang mataku menjadi saksi kebersamaannya dengan beberapa siswi ekonomi kelas atas. Entah mereka ngobrol seperti
siswa-siswi lain, ataukah berindikasi yang berbeda. Memang hal itu wajar terjadi pada Dimas yang multitalent dan didukung dengan wajah
tampannya.Tapi hal itu tak membuatku kecil hati, karena kalau jodoh itu tak kan
kemana, tulang rusuk tak akan pernah tertukar, dan selagi masih terjadi
goncangan saat disebut namanya, serta ketika dua wajah saling pandang tak sengaja.
***
Rasa itu selalu ku simpan hingga abu-abu putih yang
menjadi kostum keseharianku, berganti
dengan berwarna warni yang selalu dilengkapi dengan jas kebanggaan. Semenjak angkatanku
dinyatakan lulus oleh negara, komunikasi terhenti, bahkan salam radio yang
kerap kami lakukan pun terhenti karena kesibukan masing-masing. Walau kerap
rasa rindu yang kusimpan sudah tidak memenuhi kapasitasnya. Alias mbludak. Tetap ku pertahankan, atau
sesekali kulampiaskan dengan pesan radio.
“Salam Semangat untuk mahasiswa yang sedang
menggapai cita-citanya.”
Ku luncurkan pesan itu ke frekuensi yang selalu
kudengarkan. Dengan begitu dapat mengurangi
rasa rindu yang menggunung.Begitu yang selalu ku lakukan dulu, dan ini
mungkin jawaban dari permintaan disetiap doaku kepadaNya.
***
“Permisi dok, memberitahukan bahwa nanti pada jam
istirahat ada rapat di ruang meeting.” Kata perawat yang memasuki ruanganku dan
membuyarkan lamunanku.
“Iya, terima kasih informasinya.” Jawabku
“ Permisi dok, keadaan bangsal mawar no 6 semakin menurun.” Kata
Asistenku dengan terengah-engah karena belum sempat mengatur nafasnya.
Tanpa berpikir panjang ku ambil
stetoskop yang tergeletak diatas keyboard laptop, dengan langkah kaki yang ku
perlebar, aku dan asistenku melangkah menuju ruang pasien itu, dan tiba-tiba
terkejut. Itu nomer kamar Dimas, ada apa dengannya? .
Hatiku dipenuhi dengan ribuan tanda tanya. Dan aku
persiapkan tekadku jika keadaannya memingkinkan untuk memenuhi impianku. Entah
jawabannya seperti apa, yang penting rasa itu telah tersampaikan kepadanya.
Sebentar lagi aku akan menceklist impianku. Mengungkapkan rasa kepadanya saat
aku telah menjadi dokter.
Ruangan itu telah dikerumuni keluarganya, termasuk
ibunya yang dulu mengagumiku sebagai teman anaknya. Suasana ruangan berubah
drastis, berbeda dari suasana saat
kunjungan bangsal tadi. Raut wajah ibunya tidak sedang dihiasi dengan senyum,
wajahnya gugup dan cemas. Berulangkali ibunya membisiki Dimas dengan
kalimat-kalimatNya. Ku lihat nafas Dimas berat, dia kesulitan mengambil nafas.
Dengan sigap ku letakkan stetoskop di dada Dimas,
dan asistenku mempersiapkan alat bantu bernafas. Perasaanku kali ini berbeda
dengan saat aku menangani pasien lain. Hatiku cemas. Tanganku gemetar. Mataku
panas dan berkaca-kaca.
“ Ibu..Maafkan anakmu belum sempat mempersembahkan
ijazah kedokteran untukmu, terima kasih untuk kasih sayangmu.” Kata Dimas
dengan suara lirih sembari mengambil nafas walau dia merasa susah. Ibunya hanya
menangis dalam pelukan anaknya.
Dan tiba-tiba tangannya menghentikan tanganku yang
sedang berusaha memasang alat bantu nafas, matanya memandangku.
“Tyas...Terima kasih untuk pesan dan motivasimu di
radio, Yas tolong bantu aku untuk mengucapkan kalimatNya saat nafas
terakhirku!” Pintanya dengan lirih. Aku tidak bisa membendung air mataku, ku
genggam erat tangannya, dan ku mulai membisikinya.
“Asyhaduanla ila ha illallah.” Bisikku kepada Dimas
di telinga kanannya. Ibunya memeluk punggungku erat. Dan Dimas menirukan dengan
sangat lirih, dibarengi dengan lemas tanggannya dalam genggamanku.
“Wa asyhaduanla muhammadarosululah.” Bisikku lagi
padanya. Dia menirukannya lagi semakin lirih. Dan tiba-tiba tak ada kekutan
genggaman tangan Dimas dalam genggamanku. Ku posisikan tangannya untuk
bersedekap. Ku tarik selimutnya hingga menutupi wajahnya. Lalu ibunya memelukku
sangat erat.
Sungguh, tak dapat ku percaya beberapa detik lalu,
Dimas pergi karena penyakit TBC. Tubuhku lemas seperti tak bertulang. Air
mataku menetes deras. Rasaku belum tersampaikan. Tapi dengan aku menjadi dokter
aku bisa menemaninya saat detik-detik terakhir meninggalkan orang-orang yang
menyayanginya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar