Rabu, 25 November 2015

Pertemuan Terakhir ^_^

Pas buka-buka tulisan lama di leptop, nemu ini nih..hihihi
Monggo dibaca ! ^_^




Mentari kembali menerangi bumi pertiwi, lebih cerah dari biasanya. Hujan semalaman telah berhasil dikalahkan oleh sang surya, dan kembali memberi  kehangatan bumi pertiwi. Lalu lalang  kendaraan dijalan  semakin ramai, sehingga kemacetan selalu menjadi rutinitas setiap pagi. Kotak kecil beroda empat  diantara puluhan kendaraan lain  yang menembus macet dengan suara frekuensi radio favorit  pemilik jari-jari lentik  yang kini diatas setir. Hingga tempat tujuanlah tombol off radio baru ditekan.
Jas putih kini sudah melekat ditubuhku, benda yang khas untukku tak lupa selalu melengkapi krah jasku, dan dua lensa yang menjadi pelengkap bola mataku sudah terpasang rapi. Dengan ditemani oleh perawat asistenku, tugas pagi siap dimulai, kunjungan dari  bangsal ke bangsal, dari pasien ke pasien untuk melihat perkembangan kesehatan. Hingga ku temukan pasien yang tak asing bagiku, wajahnya masih tersimpan disudut memory. Ku buka data social dalam RM, untuk memastikan  nama pasien tersebut, apakah sama dengan nama yang tersimpan di memoryku.
”Dimas Ryan Anggara”. Bisikku lirih kepada asistenku.
“Iya dok, pasien yang baru masuk tadi malam.”Jawabnya dengan penuh sopan.
“Mau saya bangunkan dok ?”Tanya Asistenku
“Ndak usah, infusnya masih stabil, biarkan istirahat dulu saja!” Jawabku sembari menenangkan gonjangan hati yang datang tiba-tiba.
“Sama persis dengan nama yang masih tersimpan dalam hati dan pikiranku.” Batinku sambil melangkah menuju runganku.
Untuk memastikannya lagi, kubuka laptopku dan ku pandangi ulang wajahnya yang tersimpan dalam folder  My Love, tak ada perubahan sama sekali. Dan  ku temukan foto, dimana itu yang menjadi motivasiku untuk mencapai titik ini. Titik dimana aku bisa membahagiakan orang-orang disekelilingku, orang tua salah satunya. Ketika aku dan pasien itu  satu kelas di kelas perjuangan untuk meloncat lebih cerah  dari  abu-abu putih. Dan menjadi satu kelompok tutorial praktikum biologi untuk adik-adik angkatan.
***
“Dim..ntar siang masuk tutorial kan?” Tanya teman sebangkuku sekaligus sahabatku. Gina.
“Iya masuk, sory kemarin ada les di luar.” Jawabnya sambil melangkahkan kakinya menuju singgasanaku.
“Oke deh, sudah ditunggu adik kelas kemaren.” Kataku untuk menghilangkan gerogi.
“Iya deh, kemarin juga sudah ijin ke Instruktur praktikum juga kok”. Jawabnya tepat di hadapanku.
“Rencana  lanjut cari ilmu  yang lebih tinggi dimana  ni Dim?” Tanya Gina nyrobot.
“Kedokteran Gin, doanya ya!” Jawabnya singkat.
“Amin.” Kataku dan Gina serempak.
“Dimas, Gina, Tyas, senyuum.” Teriakan Dayu yang dijuluki dengan miss jepret, karena dimana ada dia, pasti ada jepretan foto.
“Bagus ga Day? Sini Tyas liat.” Pintaku.
Sempurna.Antara aku, sahabatku, dan my love. Inilah kesaksiannya yang selalu menjadi motivasiku menggapai puncak cita-citaku. Dimana dia melontarkan pernyataannya. Menjadi dokter. Sehingga prinsip itu muncul, bahwa  jika aku berprofesi yang sama, maka tak ada kata gengsi untuk mengungkapkan isi hati yang lama tersimpan. Rasaku telah mengubah cita-cita kecilku, dari perawat menjadi dokter.
“Bagaimana Yas? Ungkapin ntar sewaktu tutorial praktikum, berani ? Jangan hanya lewat radio aja, itu pun bukan ungkapan rasa.”Tantang Gina kepadaku.
“Belum berani Gin, rasaku akan ku ungkapkan ketika aku telah berjas putih. Dan ku akan selalu kirimkan rinduku lewat gelombang radio. Walau dia hanya menganggap sekedar pesan biasa. Dan pesan balik darinya sudah lebih dari cukup untukku.” Batinku, sembari tersenyum untuk menjawab pertanyaan Gina.
***
“Selamat pagi,
Salam semangat untuk Dimas dan Gina, jangan lupa nanti tutorial praktikum ya.”
Pesan seperti itulah yang selalu ku luncurkan setiap pagi  dari hpku menuju frekuensi  radio favoritku. Dengan harapan untuk dibacakan penyiar radio, dan sampai di telinganya.
Walau kadang mataku menjadi saksi  kebersamaannya dengan beberapa siswi ekonomi  kelas atas. Entah mereka ngobrol seperti siswa-siswi lain, ataukah berindikasi yang berbeda.  Memang hal itu wajar terjadi pada Dimas  yang multitalent dan didukung dengan wajah tampannya.Tapi hal itu tak membuatku kecil hati, karena kalau jodoh itu tak kan kemana, tulang rusuk tak akan pernah tertukar, dan selagi masih terjadi goncangan saat disebut namanya, serta  ketika dua wajah saling pandang tak sengaja.
***
Rasa itu selalu ku simpan hingga abu-abu putih yang menjadi kostum keseharianku,  berganti dengan berwarna warni yang selalu dilengkapi dengan jas kebanggaan. Semenjak angkatanku dinyatakan lulus oleh negara, komunikasi terhenti, bahkan salam radio yang kerap kami lakukan pun terhenti karena kesibukan masing-masing. Walau kerap rasa rindu yang kusimpan sudah tidak memenuhi kapasitasnya. Alias mbludak. Tetap ku pertahankan, atau sesekali kulampiaskan dengan pesan radio.
“Salam Semangat untuk mahasiswa yang sedang menggapai cita-citanya.”
Ku luncurkan pesan itu ke frekuensi yang selalu kudengarkan. Dengan begitu dapat mengurangi  rasa rindu yang menggunung.Begitu yang selalu ku lakukan dulu, dan ini mungkin jawaban dari permintaan disetiap doaku kepadaNya.
***
“Permisi dok, memberitahukan bahwa nanti pada jam istirahat ada rapat di ruang meeting.” Kata perawat yang memasuki ruanganku dan membuyarkan lamunanku.
“Iya, terima kasih informasinya.” Jawabku
              “ Permisi dok, keadaan bangsal mawar no 6 semakin menurun.” Kata Asistenku dengan terengah-engah karena belum sempat mengatur nafasnya.
            Tanpa berpikir panjang ku ambil stetoskop yang tergeletak diatas keyboard laptop, dengan langkah kaki yang ku perlebar, aku dan asistenku melangkah menuju ruang pasien itu, dan tiba-tiba terkejut. Itu nomer kamar Dimas, ada apa dengannya? .
Hatiku dipenuhi dengan ribuan tanda tanya. Dan aku persiapkan tekadku jika keadaannya memingkinkan untuk memenuhi impianku. Entah jawabannya seperti apa, yang penting rasa itu telah tersampaikan kepadanya. Sebentar lagi aku akan menceklist impianku. Mengungkapkan rasa kepadanya saat aku telah menjadi dokter.
Ruangan itu telah dikerumuni keluarganya, termasuk ibunya yang dulu mengagumiku sebagai teman anaknya. Suasana ruangan berubah drastis, berbeda  dari suasana saat kunjungan bangsal tadi. Raut wajah ibunya tidak sedang dihiasi dengan senyum, wajahnya gugup dan cemas. Berulangkali ibunya membisiki Dimas dengan kalimat-kalimatNya. Ku lihat nafas Dimas berat, dia kesulitan mengambil nafas.
Dengan sigap ku letakkan stetoskop di dada Dimas, dan asistenku mempersiapkan alat bantu bernafas. Perasaanku kali ini berbeda dengan saat aku menangani pasien lain. Hatiku cemas. Tanganku gemetar. Mataku panas dan berkaca-kaca.
“ Ibu..Maafkan anakmu belum sempat mempersembahkan ijazah kedokteran untukmu, terima kasih untuk kasih sayangmu.” Kata Dimas dengan suara lirih sembari mengambil nafas walau dia merasa susah. Ibunya hanya menangis dalam pelukan anaknya.
Dan tiba-tiba tangannya menghentikan tanganku yang sedang berusaha memasang alat bantu nafas, matanya memandangku.
“Tyas...Terima kasih untuk pesan dan motivasimu di radio, Yas tolong bantu aku untuk mengucapkan kalimatNya saat nafas terakhirku!” Pintanya dengan lirih. Aku tidak bisa membendung air mataku, ku genggam erat tangannya, dan ku mulai membisikinya.
“Asyhaduanla ila ha illallah.” Bisikku kepada Dimas di telinga kanannya. Ibunya memeluk punggungku erat. Dan Dimas menirukan dengan sangat lirih, dibarengi dengan lemas tanggannya dalam genggamanku.
“Wa asyhaduanla muhammadarosululah.” Bisikku lagi padanya. Dia menirukannya lagi semakin lirih. Dan tiba-tiba tak ada kekutan genggaman tangan Dimas dalam genggamanku. Ku posisikan tangannya untuk bersedekap. Ku tarik selimutnya hingga menutupi wajahnya. Lalu ibunya memelukku sangat erat.
Sungguh, tak dapat ku percaya beberapa detik lalu, Dimas pergi karena penyakit TBC. Tubuhku lemas seperti tak bertulang. Air mataku menetes deras. Rasaku belum tersampaikan. Tapi dengan aku menjadi dokter aku bisa menemaninya saat detik-detik terakhir meninggalkan orang-orang yang menyayanginya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar